oleh : Lisa Widiarti
(disampaikan dalam acara diskusi pameran “Jelajah Patung dalam Tradisi Minang” September 2006)
Seni selalu hadir pada setiap periode sejarah manusia dengan keaneka ragaman ekspresinya. Sebagai salah satu produk budaya, kesenian selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Karya-karya seni yang kita warisi tidak saja berbeda dari jaman ke jaman, dari satu ruang kebudayaan ke ruang kebudayaan yang lain, juga di dalam kebudayaan yang sama pun terdapat aliran-aliran yang berbeda, malah kadang-kadang sejajar pada waktu yang sama.
Perkembangan yang terjadi berawal dari pandangan manusia yang selalu dinamis dalam ide, yang terefleksi dalam proses dan berakhir pada terbentuknya wujud karya seni. Pendapat tentang apa itu seni nampaknya akan terus berkembang tergantung dari sudut mana mereka memandang. Puluhan definisi, atau ratusan, bahkan ribuan definisi seni akan lahir. Kita dapat membayangkan betapa sulit mencari definisi seni mana yang dijadikan pegangan.
Bila kita bertitik tolak berdasarkan pendapat bahwa seni adalah ungkapan pikiran dalam suatu bentuk nyata, maka kemungkinan penyebab perubahan aliran/style dikarenakan adanya perubahan di dalam kesadaran manusia. Dengan demikian karya seni mencerminkan cara berpikir dan pengalaman subjektif pada suatu masa tertentu.
Seni patung sebagai salah satu cabang seni rupa telah hadir jauh sebelum manusia mengenal peradaban modern seperti sekarang. Di zaman itu patung dihadirkan sebagai alat ritual dan dianggap sebagai benda keramat serta disucikan. Sekarang patung telah mengalami perubahan, baik dari segi fungsi, material dan perwujudan bentuk. Patung tidak lagi mencerminkan simbol komunal melainkan bergeser sebagai medium aspirasi pribadi si pematung.
Pertumbuhan seni patung di Indonesia kini cenderung berjalan sendiri-sendiri. Sekelompok pematung konvensional sengaja mempertahankan ideologi pasar sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan investor dan kolektor seni. Sementara kelompok yang menyatakan diri sebagai pematung “modern”, perjalanannya mengarah dan berkiblat kepada konsepsi. Konsepsi yang bertolak pada penonjolan ide, kini merambah dalam berbagai multi; dari multi media sampai multi idea. Instalasi yang mula-mula tumbuh dari tradisi seni patung, telah membaur dengan instalasi dari jurusan yang lain yang sama-sama produk seni rupa kontemporer.
Sekitar paruh pertama 70-an sejumlah mahasiswa seni patung di perguruan seni rupa kita mulai mencoba menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Para mahasiswa itu menampilkan macam ragam eksperimen, melintas batas bunyi, bau, dan bahkan menempatkan tubuh sendiri sebagai medium. Eksperimen tersebut kerap didefinisikan “merespons” ruang. Bergesernya patung-patung tunggal ke instalasi, merupakan penjelajahan ruang tak terbatas dalam dunia seni patung itu sendiri.
Instalasi patung untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Jim Supangkat seorang mahasiswa studio seni patung ITB. Pada 1975 ia mengajukan Tugas Akhir berjudul “Kamar Seorang Ibu dan Anaknya”. Karya itu sama sekali melepaskan diri dari sensibilitas sebuah karya patung. Sensasi rupa yang hangat pada patung seperti; bentuk, barik, plastisitas, bergeser ke narasi yang terasa dingin. Muatan cerita tiba-tiba mengambil peran yang jauh lebih besar dari pada penjelajahan bentuk. Kepercayaan pada universitas ditinggalkan, dan ia beralih pada konteks tertentu. Inilah instalasi (patung) pertama walau pun istilah instalasi belum dikenal dimasa itu, diloloskan maju ke sidang akademi. Jim Supangkat lulus sangat memuaskan dengan karya tersebut (Asikin Hasan, Buletin Asosiasi Pematung Indonesia (API), 2004). Pembaharuan dalam bidang seni patung ini terus berlanjut pada masa berikutnya yang diikuti oleh aksi-aksi dari sejumlah pematung-pematung muda lainnya (mahasiswa studio seni patung), baik di Bandung atau pun di Yogyakarta.
Memasuki abad 21, kita dihadapkan berbagai masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai segi kehidupan yang berkaitan dengan moralitas. Maka munculah beberapa kelompok pematung muda mencoba menawarkan berbagai wacana dalam berbagai bentuk performance art, instalasi art dan collaboration art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mencoba mengangkat berbagai wacana politik, sosial, ekonomi, moralitas dalam fenomena yang ia racik dalam multi media dan multi-idea. Mereka tidak lagi membatasi disiplin seni atau cabang seni yang terkotak-kotak oleh modernisme yang lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik. Namun mereka berangkat dari keragaman tafsir dari realitas yang mereka rasakan bersama, sehingga karya-karya mereka bernuansa kehidupan sosial yang mengarah pada universalilasi gagasan, karena mereka nampaknya ingin melepaskan diri dari kungkungan individu yang terhimpit oleh ruang dan waktu.
Seni patung Sumatera Barat
Dalam peta budaya, pengertian “Sumatera Barat” harus dipandang sebagai suatu bentuk yang bercorak multi budaya. Maka pengertian “Seni Patung Sumatera Barat”, bukan berarti seni patung yang dibuat oleh orang Minang saja, tetapi seni patung yang mempunyai “roh” yang bernafaskan Sumatera Barat yang multi-budaya. Yang menjadi permasalahan kini, yakni bagaimana memberikan kehidupan terhadap seni patung yang punya nafas Sumatera Barat yang multi-budaya dan multi-tradisi tersebut.
Sebenarnya yang menjadi permasalahan bukan apa dan seperti apa “Seni Patung Sumatera Barat”, karena dalam mewujudkan karyanya bisa saja dalam bentuk apa pun, seperti; konvensional, modern atau wacana kontemporer, asalkan pematungnya paham dengan apa yang dibuat serta mampu mengkomunikasikannya pada si pengamat. Dan yang terpenting dari semua itu, perlu adanya perenungan apakah karya tersebut sudah memiliki kekhasan dan corak tersendiri dalam peta seni patung Indonesia.
Seni patung berlabel “Sumatera Barat” memang perlu untuk dipertanyakan. Seperti kalimat yang tertera pada judul makalah ini “Dimana Seni Patung Sumatera Barat...???” memiliki makna ambigu, bisa jadi mempertanyakan dimanakah atau sudah muncul atau belumkah seni patung di Sumatera Barat, atau bisa juga memiliki makna bagaimana eksistensi seni patung Sumatera Barat dalam peta perkembangan seni patung Indonesia.
Bila kita melihat perkembangan seni patung di Yogyakarta dan Bandung yang merupakan kota sentra seni di Indonesia, ternyata sebagian besar dari pematungnya yang telah mempunyai nama besar dalam bidang seni patung di Indonesia adalah orang Minang. Nama-nama tersebut diantaranya; Syahrizal Koto, Kasman KS, Rudi Mantofani, Handiwirman, Yusra Martunus, dll (di Yogyakarta) dan Amrizal Salayan (di Bandung). Bagaimana andil pelaku seni khususnya pematung yang berada di kampung halaman (Sumatera Barat) dalam perkembangan seni patung Indonesia?
Penutup
Salah satu program API Sumatera Barat adalah melaksanakan kegiatan pameran seni patung yang Alhamdulillah kegiatan tersebut saat ini sedang berlangsung yang sekaligus merupakan pameran I API Sumatera Barat. Apakah pameran yang bertema “ Jelajah Patung Dalam Tradisi Minang” yang sedang berlangsung ini dapat menjawab minimal sebagian dari jawaban yang kita butuhkan tentang eksistensi seni patung Sumatera Barat dalam peta seni patung Indonesia? Jawabannya ada pada kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar